Siang sudah menjadi malam, setiap insan telah ramai dengan kegiatan yang terus menerus berulang-ulang. Kota Jakarta dengan lampu kota yang indah selalu membuat Kianithara kagum, terlepas dari realita dirinya yang sekarang sudah memasuki kawasan salah satu Hotel bintang lima yang berada di alun-alun Jakarta Pusat. Pakaian yang cukup terbuka dan berwarna cerah membuat Kianithara mau tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Kiano yang tentu sadar akan tatapan orang disekelilingnya membuat dirinya inisiatif memberi jas hitam yang dikenakannya kepada Kianithara.
“Maaf.” Kianithara berucap.
“Buat apa? It’s not your fault.” Kiano mengelus lengan Kianithara pelan.
Tidak ada lagi percakapan setelahnya ketika suara dari Galva Kahfi — Papa dari keduanya memanggil dari kejauhan. Meja bundar yang kini ditatap oleh Kianithara mengisi rasa bosannya karena taplak dari meja itu sendiri mengingatkannya pada salah satu bahan kain yang digemarinya.
“Papa bilang kan pakai lengan panjang, Kia.”
“Maaf, Pa.”
Hanya untuk diketahui, ini adalah kali kedua Kianithara mengikuti acara makan bersama dengan rekan bisnis orang tuanya. Lebih tepatnya, acara ajang menjodohkan anak kandung oleh sesama rekan bisnis, atau menjadi akar gosip yang akan ricuh di kemudian hari. Namun beda bagi keluarga Koesharto. Hadirnya Kianithara hanya dijadikan sebagai ajang pamer prestasi anak, ternyata ada baiknya menjadi pintar.
Seperti biasanya, Kianithara hanya akan bermain piano untuk satu jam kedepan, belum lagi dengan para tamu yang biasa mengusulkan lagu, atau bahkan ingin bernyanyi sembari diiringi oleh alunan piano darinya. Tidak ada kompensasi, Kianithara terima hanya untuk membuat orang tuanya bangga, juga untuk menebus kesalahan.
“Permisi cantik..” Seorang wanita paruh baya menepuk pundah Kianithara pelan.
“Iya.. tante?”
“Ini.. boleh ga ya tante request lagu Somewhere Over The Rainbow?”
Kianithara mengangguk tanpa berfikir kembali, sebab lagu ini lah yang Nena selalu nyanyikan padanya sebelum tidur. Selama dentingan piano terdengar, orang-orang berbisik kagum dengan lihai nya jari Kianithara.
Selesai lagu terakhir, Kianithara pamit pergi meninggalkan ruangan mewah itu untuk mencari udara. Tidak lupa dengan Altoids tin wallet — tempat Kianithara membawa barang-barang kecil di dalamnya. Baru saja Kianithara sampai pada balkon ujung yang sepi, Kianithara mendengar seruan dari dua orang asing pada belakang dinding yang berlawan arah darinya. Tidak bermaksud menguping, Kianithara hanya ingin melepas penat dengan sebatang rokok pada selipan jarinya.
“We’re never over, Sa.”
“How many time should I tell you? We both tired.”
“That’s why! that’s why I let you go to Bali, I let you left me!”
“Left you? You’re the one who made up this whole scenarios! this is so messed up.”
“HISA! don’t go or you will never see me again.”
Kianithara segera pergi ke toilet terdekat ketika perbincangan mulai serius. Tidak ada lanjutan dari percakapan itu, mungkin salah satu dari mereka memang pergi. Saat keluar dari salah satu bilik toilet, Kianithara melihat seseorang yang dikenal sebagai teman lamanya, lesu dengan air mata yang bercampur mascara dan eye shadow yang berantakan.
Jika Kianithara adalah peran antagonis dalam suatu cerita, mungkin saat ini dirinya akan mengunci pintu utama toilet sebagai motif balas dendam. Namun sekarang Kianithara malah merasa simpati dan memberikan beberapa lembar tisu untuk Claire Anyaestha.
“Gausah banyak tanya.”
“I don’t care about your problem, gue cuma bersimpati.”
“Thanks.” Claire berbicara dengan nada yang sangat rendah.
Kianithara hanya pergi kembali menuju pada balkon tanpa membalas apapun, berfikir tentang dugaan yang benar. Sepertinya Hisa juga ada disini.
“Kia?” Kianithara menoleh karena sudah tau siapa yang memanggilnya.
“Hisa! Hi! baru dateng?”
“Oh ngga, udah dari tadi. Lo mau kemana?”
“Balik ke.. dalem.”
Hisa mengangguk sambil menghisap rokok dari tangannya. “Artinya apa?”
“Apa?” Pertanyaan ambigu membuat Kianithara mengernyit.
Hisa menunjuk. “itu, Tattoo di tangan lo.”
“Oh.. gaada artinya sih hehe.”
“Keren.”
“Makasih hehe.”
Baru selangkah Kianithara ingin melangkah, Hisa kembali bertanya, “Nanti lo pulang sama siapa?”
“Sama Kio, kenapa?”
“Mau cabut ga? ke arah menteng?”
Kianithara berfikir sebentar.. daripada kembali duduk seperti patung di acara membosankan seperti ini, akhirnya Kianithara memutuskan untuk mengiyakan ajakan Hisa. Terlihat Hisa memang butuh seseorang untuk bercerita.
“Gua udah chat Kiano ya.” Kianithara mengangguk setelah memakan safety belt pada mobil Hisa.
Memang aneh ketika berada satu atap mobil dengan orang baru. Tidak asing, namun baru. Kianithara sendiri hanya ingin… bergaul? dirinya juga ingin melepas penat dari tugas yang menghantuinya seminggu ini. Tidak ada percakapan selama perjalanan, Kianithara hanya sibuk melihat jalanan dari dalam kaca mobil.
“Lo punya tempat dimana lo bisa berfikir tenang ga?”
“Gue suka rumah Nena. Nenek gue.”
“Sounds.. warm? gua jarang liat lo di acara kaya tadi, by the way.”
“Ini baru kali kedua gue sih ikut acara, lo juga kayanya bukan orang yang into acara begituan ya?”
“Exactly, gua gasuka acara perdagangan anak kaya gitu.”
Kianithara terkekeh, “I’ve always thought that.”
Mobil Hisa terhenti di salah satu bangunan ruko di arah Menteng. Tempat studio dimana Hisa dan teman-temannya berlatih band ketika mereka masih berada di bangku SMA dulu.
“Ini studio theBeats yang dulu. Basecamp kita sih jatohnya.”
Kianithara samar mendengarkan Hisa bercerita tentang silsilah bangunan yang dibeli oleh semua personil theBeats sebagai kenang-kenangan sekaligus basecamp mereka, dirinya sibuk terkagum dengan ruangan bernuansa gelap dengan furnitur Art Deco yang antik.
“Selain kita berlima, kayanya gaada yang tau dah bangunan ini.”
Kianithara bingung, “Kenapa gitu?”
“Ya gapapa sih, mau di gatekeep aja.”
“Maksud gue.. kenapa lo ngasih tau gue?”
“Karena dari lo main piano di acara tadi, muka lo udah sumpek. Plus I don’t know where to go kalo lagi kepepet.”
Kianithara tersenyum mengangguk paham. “Well.. Thanks?”
Hisa tersenyum jail, “Gua juga tau lo nguping tadi.”
Kianithara kembali menoleh cepat, “Hah? gaada yang nguping. Emang apa? lo sama claire-”
“Yah kan ketahuan.” Hisa memandang wajah Kianithara yang kini tidak berani menatap Hisa.
“Gapapaa elah, gosip juga udah dimana-mana.”
“Gue.. gamau tau juga sih, Sa. Masalah pribadi lo, tadi juga ga denger like whole conversation.”
Hisa mengangguk, “Lo bukannya satu jurusan sama Claire?”
“Iyaa, tadi gue ketemu dia juga di toilet.”
“How is she?”
“Despite the truth hubungan gue sama Claire gak baik-baik aja, she’s not well. Anything between you two, gue harap cepet kelar aja deh. I don’t think you are okay in this situation.”
Hisa terdiam dan lebih memilih memetik gitar di pangkuannya, “Gua gapapa sih.”
“Bagus kalo gitu.”
Hisa kemudian menatap Kianithara heran, “It’s weird that you…re here.”
“Define that.”
“Menurut lo kalo kita saling tuker cerita, aneh gak?”
Kianithara tertawa pelan. Hisa mengernyit, “Lo kenapa ketawa deh?”
“Ngga.. ya why not? ini maksudnya cerita personal atau gimana..?”
“I’m sorry but like, are you single?”
“I am, Sa.”